Ing ngarso sun tuladha ing madya mangun karsa tut wuri handayani

Animasi

Cari Blog Ini

Selasa, 12 April 2011

Kandungan Ayat-ayat tentang Allah.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Islam adalah sebuah agama yang diturunkan Allah kepada makhluk-Nya melalui Rasulallah SAW. sebagai agama terakhir atau final, sekaligus sebagai satu-satunya agama yang benar dan terakhir, maka dengan ini Allah membekali makhluk-Nya dengan Alquran, yang mana dalam hal ini, Alquran haruslah mampu menjawab segala sesuatu persoalan yang timbul.
Al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam pada dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks (al-Qur’an). Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan. Interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan serta perintah untuk merenungkan al-Qur’an sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah:121;
tûïÏ%©!$# ãNßg»oY÷s?#uä |=»tGÅ3ø9$# ¼çmtRqè=÷Gtƒ ¨,ym ÿ¾ÏmÏ?urŸxÏ? y7Í´¯»s9'ré& tbqãZÏB÷sム¾ÏmÎ/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ¾ÏmÎ/ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrçŽÅ£»sƒø:$# ÇÊËÊÈ
Artinya: Orang-orang yang Telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya [1], mereka itu beriman kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi.
dan dalam Q.S Muhammad: 24;
Ÿxsùr& tbr㍭/ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dengan dasar ini, banyak persoalan yang muncul tentang Allah itu sendiri, akan tetapi banyak yang hanya mampu menjawab secara rasio, bukan memakai Alquran. Kalaupun ada yang memakai Alquran, sering sekali tafsir dari ayat tersebut terlupakan. Tafsir sangat diperlukan di dalam memaknai ayat Alquran karena memandang ada yang masih sangat kontroversi (sulit difahami) seperti ayat-ayat musyâbihât. Maka dari itu, demi memahami ayat-ayat yang ada kaitannya dengan Allah, perlulah dibahas pentafsiran ayat-ayat tersebut berdasarkan pendapat dan riwayat dari para sahabat maupun tabiin.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam makalah ini tim penyusun akan membahas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul yang sudah ditentukan oleh dosen pengampu, yaitu:
· Apa pengertian dari tafsir
· Tafsir ayat-ayat sifat Allah.
· Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang terpuji terhadap Allah.
· Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang tercela terhadap Allah.
1.3. Metode Pemecahan Masalah
Dalam metode penulisan yang kami gunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan permasalah yang dibahas dan diulas pada bab dua yang diambil atau dikutip dari berbagai sumber yang ada.
1.4. Tujuan
Makalah yang sudah disusun ini bertujuan supaya kita semua (tim penyusun dan pembaca) mampu memahami dan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang baru tentang Kandungan Ayat-ayat tentang Allah.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu. Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)", dan bahwa "kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri." Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS An Nahl: 44).
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Artinya: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[2] dan supaya mereka memikirkan,
Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang tepat", misalnya QS At Taubah:42;
öqs9 tb%x. $ZÊ{tã $Y7ƒÌs% #\xÿyur #YϹ$s% x8qãèt7¨?^w .`Å3»s9ur ôNyãèt/ ãNÍköŽn=tã èp¤)±9$# 4 šcqàÿÎ=ósuyur «!$$Î/ Èqs9 $oY÷èsÜtFó$# $uZô_tsƒm: öNä3yètB tbqä3Î=ökç öNåk|¦àÿRr& ª!$#ur ãNn=÷ètƒ öNåk¨XÎ) tbqç/É»s3s9 ÇÍËÈ
Artinya: Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, Pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri[3] dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Q.S Ali Imran :128,
}§øŠs9 šs9 z`ÏB ̍øBF{$# íäóÓx« ÷rr& z>qçGtƒ öNÍköŽn=tæ ÷rr& öNßgt/ÉjyèムöNßg¯RÎ*sù šcqßJÎ=»sß ÇÊËÑÈ
Artinya: Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu[4] atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Q.S Abasa: 1,
}§t6tã #¯<uqs?ur ÇÊÈ
Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa). Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi", atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".
Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw. bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar", penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah. Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur". Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw. sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran". Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
2.1. Pengertian Tafsir
Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai "penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal-lafal Al-Quran". Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang ilmu.
Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah "suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi pertama. Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan.
Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas memberikan Pengertian tentang tafsir dan membaginya dalam dua hal, yaitu dari segi bahasa dan dari segi istilah. Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan, seperti yang bisa dipahami dari Quran S. Al-Furqan: 33.
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya[5],
Setelah memahami arti tersebut telah jelas bahwa ucapan yang telah ditafsirkan berarti ucapan yang tegas dan jelas.
Sedangkan menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh kata.
Tafsir dapat dibagi menjadi tiga jenis: Tafsir riwayat[6], Tafsir dirayah[7] , dan Mufassir[8].
Sedangkan definisi daripada tafsir menurut beberapa ulama, di antaranya adalah sebagai berikut:
Ø Menurut Az-Zarkasy, adalah ilmu yang dapat digunakan untuk memahami suatu makna, serta mengeluarkan hukum dan hikmah yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Ø Menurut Abu Hayan, adalah ilmu yang membahas tentang tata cara penjelasan dengan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang terkait dengan petunjuknya, hukum-hukumnya, dan makna yang terkandung di dalamnya.
Ø Sebagian ulama memberikan definisi bahwasannya ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas dalil-dalil al-Qur’an sesuai yang dikehendaki Allah SWT menurut kadar kemampuan manusia.
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik satu pengertian yang komprehensif, bahwasanya ilmu tafsir adalah ilmu yang berfungsi sebagai metodologi untuk memahami al-Qur’an, baik dari segi susunan bahasannya, petunjuk dan hukum yang dikandungnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh penafsir (mufassir).
2.2. Tafsir ayat-ayat sifat Allah
Pada dasarnya, wajib menetapkan segala sifat kesempurnaan terhadap Allah, dan membersihkan segala sifat kekurangan terhadap-Nya. Allah juga memiliki sifat jawâz (boleh dan tidak) melakukan sesuatu perkara. Akan tetapi, menurut `Asyâ’irah dan Mâthurîdiyyah, sifat yang wajib diketahui secara terperinci adalah dua puluh (20) sifat[9]. Memandang 20 sifat itu sangat banyak untuk dibahas penafsiran setiap ayat Alquran yang menjadi dalil baginya, maka sifat (tafsir ayat sifat tersebut) yang akan dibahas hanyalah 3 sifat:
1. Al-Baqâ` yang berarti tetap;
2. Al-Mukhâlafah li al-Hawâdits yang berarti berbeda dengan makhluk;
3. Al-Kalâm yang berarti Maha berbicara.
Bagi yang pertama (1), yaitu sifat al-Baqâ` , dalil Alquran sifat ini berdasarkan pada QS. Al Qoshos: 88
Ÿwur äíôs? yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä ¢ Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 @ä. >äóÓx« î7Ï9$yd žwÎ) ¼çmygô_ur 4 ã&s! â/õ3çtø:$# Ïmøs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÑÑÈ
Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Imam Ibn Katsir berpendapat bahwa ayat (žmygô_urwÎ)7Ï9$yd>äóÓx«@ä.) itu mengabarkan bahwa sesungguhnya Allah swt itu adalah dzat yang kekal, tetap, hidup, yang berdiri dengan sendirinya, yang mematikan makhluk-Nya, dan dzat yang tidak akan mati.
Sifat yang ke-2 adalah: Mukhalafah li al-hawadists, sedangkan dalil alqurannya adalah:
öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
Artinya: “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Sebab turunnya surat Al Ikhlas adalah pada saat orang-orang musryk berkata pada Nabi Muhammad saw: “Ya Muhammad! Kepada kami nasab Tuhan kamu! Maka Allah menurunkan
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Dalam riwayat yang lainnya dikatakan bahwa ada segolongan orang Yahudi yang dating menemui Nabi Muhammad saw, lalu berkata: “Sifatilah kepada kami Tuhan kamu, karena sesungguhnya Allah menurunkan sifat-Nya di dalam Taurat. Maka kabarilah kami dari apakah Dia? Dari jenis apakah Dia? Emaskah, tembagakah, atau perakkah? Apakah Dia makan dan minum? Dari siapakah diwariskan dunia, dan kepada siapakah Dia akan mewariskan dunia?”. Maka Allah menurunkan surah ini yang hanya dinisbatkan kepada Allah sahaja. Dari segi bacaan, lafaz {كُفُوًا} itu dibaca sesuai dengan bacaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya, mereka membacanya dengan {كُفُؤاً}.
Tafsir yang dikeluarkan Ibn Katsîr bagi ayat ini adalah Allah SWT tidak memiliki istri. Ini juga selaras dengan pendapat Mujâhid yang berdalilkan Q.S Al An’am (6: 101)
ßìƒÏt/ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( 4¯Tr& ãbqä3tƒ ¼çms9 Ó$s!ur óOs9ur `ä3s? ¼ã&©! ×pt6Ås»|¹ ( t,n=yzur ¨@ä. &äóÓx« ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇÊÉÊÈ
Artinya: Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu.
Dengan kata lain yaitu Allah adalah Raja segala sesuatu dan Sang Pencipta, bagaimana Allah bisa memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya?, atau hampir menyamai-Nya?
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini digunakan untuk membatalkan keyakinan orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa Allah itu memiliki sepadan di dalam pekerjaan-Nya, sehingga mereka menjadikan malaikat sebagai teman (sahabat) bagi Allah, serta patung-patung dan berhala adalah sepadan dengan Allah. Ini juga didasari oleh ayat Alquran yang lain: 6:101, 19:92-95, dan 21:26-27. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini menolak semua akidah yang sesat seperti 1) al-Tsanawiyyah yang berpendapat wujudnya Tuhan dua bagi alam yaitu siang dan malam; 2) Kristen yang berpendapat Tuhan tiga (trinitas); 3) al-Shâbi`ah yang menyembah langit dan bintang; 4) Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah; 5) Orang musyrik yang berpendapat bahwa sesungguhnya malaikat adalah anak perempuan Allah.
Sifat yang ke-3 adalah Al Kalam, sedangkan dalil Al Qurannya adalah sebagai berikut QS. An Nisa’ (04:164):
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% šøn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR šøn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
Artinya: Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung[10].
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan bahwa ayat ini bertujuan menolak ucapan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya kamu tidak ingat Nabi Musa AS serta apa yang kamu hitung dari kalangan nabi-nabi. Maka ini adalah dalil bahwa kamu tidak membawa risâlah”. Maka Allah menolak tersebut dengan menurunkan ayat ini dan setelahnya.
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini tidak menunjukkan dengan keistimewaan Musa ini, berarti merendahkan derajat dan keistimewaan nabi-nabi yang lain. Begitu juga ayat ini bukan merendahkan nabi yang mendapat risâlah tidak dengan jalan sekali turun seluruhnya (seperti yang didapatkan Nabi Musa AS)
2.3. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang terpuji terhadap Allah
Dalam Alquran, juga disebutkan beberapa akhlak (budi pekerti) yang terpuji terhadap Allah. Salah satu yang paling utama adalah syukur. Masalah syukur ini disebut di dalam Alquran surat Al Baqarah (02:152)þÎTrãä.øŒ$$sù öNä.öä.øŒr& (#rãà6ô©$#ur Í< Ÿwur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[11], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kemu mengingkati (ni’mat)-Ku.
Dalam menerangkan konsep syukur bagi ayat ini, Imam Ibn Katsîr menerangkan di dalam tafsirnya bahwa ayat {Èbrãàÿõ3s?wurÍ<#rãà6ô©$#ur} itu adalah sebuah perintah Allah untuk bersyukur kepada-Nya, dan syukur tersebut dilaksanakan dengan menambahkan kebaikan. Dari ini Allah berfirman dalam QS Ibrahim (14:7)
øŒÎ)ur šc©Œr's? öNä3š/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyƒÎV{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓƒÏt±s9 ÇÐÈ
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadis yang datang dari Abû Rajâ` al-‘Uthâridî yang menceritakan bahwa “‘Imrân keluar menemuiku, dan ‘Imrân membawa sepotong kain dari sutera yang belum pernah aku melihat sebelum ini dan setelahnya, lalu ‘Imrân berkata: sesungguhnya Rasulallah SAW bersabda: Barangsiapa yang Allah memberi nikmat kepadanya dengan sebuah nikmat, maka Allah itu menyukai untuk diperlihatkan efek dari nikmat tersebut dari makhluk-Nya”.
Menurut Imam al-Thabarî, ayat ini menyuruh orang-orang mukmin agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa Islam, atau hidayah berupa agama yang telah disyariatkan bagi nabi-nabi Allah serta kekasih-Nya. Lalu Allah memerintahkan untuk tidak melakukan kekufuran (tidak bersyukur) terhadap kebaikan Allah kepada mereka (mukmin), niscaya Allah akan merampas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Sebaliknya kalau mereka bersyukur, maka Allah akan menambah lalu menyempurnakan nikmat-Nya terhadap mereka, dan Allah akan memberi mereka hidayah seperti hidayah yang diberikan kepada hamba-Nya yang diridai-Nya. Selanjutnya, Imam al-Thabarî menjelaskan bahwa makna syukur di sini adalah memuji.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, Allah memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada orang mukmin dengan cara hati, lisan, dan mengunakan segala anggota pada apa yang dijadikan Allah bagi anggota tersebut untuk melakukan kebaikan dan kemanfaatan. Orang mukmin dilarang mengkafiri nikmat ini dengan cara memalingkan penggunaan anggota tersebut menuju apa yang dilarang syariat. Akal sehat juga tidak dapat menerima kekufuran tersebut. Sesungguhnya kalau perbuatan itu bagus, maka baguslah balasannya, dan kalau perbuatan itu tercela, maka tercelalah balasannya.
2.4. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang tercela terhadap Allah
Selain dari akhlak yang terpuji terhadap Allah, terdapat juga akhlak yang tercela terhadap Allah. Dari sekian banyak akhlak yang tercela terhadap Allah, syirik adalah yang paling tercela. Syirik disebut di dalam Alquran pada An Nisa’ (04:48):
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.
Sebab turunnya ayat ini dikeluarkan Ibn `Abî Hâtim dan al-Thabrânî yang diceritakan dari `Abî Ayûb al-`Anshârî, berkata: “Seorang lelaki datang menemui Nabi SAW lalu berkata: sesungguhnya aku memiliki anak saudara lelaki yang tidak berhenti melakukan dosa, lalu Nabi Muhammad SAW bertanya: Apa agamanya? Dia pun menjawab: Anak itu sholat dan mentauhidkan Allah. Nabi baerkata: mintalah dia memberikan agamanya, kalau dia menolak, maka belilah agamanya. Lalu orang tersebut melakukan perintah Nabi, dan ternyata anak itu menolak. Maka lelaki itu datang menemui Nabi Muhammad SAW dan mengkabari beliau, dan lelaki itu berkata: aku menemui kalau anak itu kikir/lokek akan agamanya. Maka turunlah ayat ini”.
Imam Ibn Katsîr dalam menafsiri ayat ini dengan mengunakan banyak sekali hadis. Salah satu yang menarik adalah hadis kedua yaitu perkataan `Abû Bakar al-Bazzâr di dalam musnadnya: Ahmad menceritakan dari Zâidah al-Namrî dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Kezaliman itu ada tiga, (1) zalim yang tidak diampuni Allah, (2) zalim yang diampuni Allah, (3) zalim yang Allah tidak meninggalkan darinya sesuatu apapun. Zalim yang tidak diampuni Allah adalah syirik. Zalim yang kedua adalah zalimnya hamba terhadap dirinya sendiri yang berhubungan dengan Allah. Zalim yang ketiga adalah zalimnya hamba terhadap sesama mereka sehingga terjadi hutang (material maupun non material) yang belum dilunasi di antara mereka”.




BAB III
KESIMPULAN
Tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan Ijtihad manusia untuk mengungkapkan nilai nilai Samawi yang terdapat dalam al-Qur'an. Dan berangkat dari makna Tafsir baik secara bahasa maupun Istilah. Tafsir berfungsi menjelaskan segala yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada manusia untuk ditaati dan dilaksanakan.
Sifat al-Baqâ` Allah SWT berdasarkan pada ayat (žmygô_urwÎ)7Ï9$yd>äóÓx«@ä.) ditafsiri dengan berbagai tafsiran, akan tetapi, ulama sepakat bahwa berdasarkan ayat ini Allah adalah Zat yang kekal, sedangkan sesuatu yang baru itu pasti rusak/hilang; sifat al-Mukhâlafah li al-Hawâdits berdasarkan pada ayat
öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
yaitu Allah tidak memiliki istri, maupun yang menyamainya; sifat al-Kalâm yaitu Allah memiliki sifat berfirman seperti firmannya Allah kepada Nabi Musa AS secara hakiki dengan tanpa huruf maupun suara, sedangkan firman Allah kepada nabi yang lain adalah melalui wahyu atau perantara malaikat Jibril AS.
Akhlak terpuji terhadap Allah adalah syukur dan tawakal, yaitu perintah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada makhluknya; yaitu barangsiapa yang memasrahkan masalahnya kepada Allah dengan usaha Allah akan memenuhi keperluan yang paling penting baginya, walaupun usaha bukanlah satu-satunya jalan untuk berhasil.
Akhlak tercela terhadap Allah adalah syirik dan al-nifâq, yaitu Allah akan mengampuni segala dosa kecuali syirik yang sampai akhir hayatnya tanpa melakukan taubat; sedangkan ayat al-nifâq, yaitu orang munafik menipu Allah di dunia, akan tetapi nanti Allah yang akan mempermainkan mereka di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Aidh bin Abdullah. 2005. Nikmatnya Hidangan Al Quran. Jakarta; Maghfirah Mustaka
Bahreisy, Salim. 2004. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier 1. Surabaya; PT. Bina Ilmu
------------------- 2004. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier 3. Surabaya; PT. Bina Ilmu
------------------ 2004. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier 7. Surabaya; PT. Bina Ilmu
Mubarok, bdullah. 2009. Tuntuna Sholat. Rembang; Arkola


[1] tidak merobah dan mentakwilkan Al Kitab sekehendak hatinya.
[2] perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[3] maksudnya mereka akan binasa disebabkan sumpah mereka yang palsu.
[4] menurut riwayat Bukhari mengenai Turunnya ayat ini, Karena nabi Muhammad s.a.w. berdoa kepada Allah agar menyelamatkan sebagian pemuka-pemuka musyrikin dan membinasakan sebagian lainnya.
[5] setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
[6] (Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-Quran).
[7] (Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat. Tafsir dirayah bukanlah menafsirkan al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda Nabi:"Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia harus bersedia menempatkan dirinya di neraka. Dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran dengan ra'yunya maka hedaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka." (HR. Turmudzi dari Ibnu Abbas)
"Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra'yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan" (HR. Abi Dawud dari Jundab).
Ra'yu yang dimaksudkan oleh dua hadits di atas adalah hawa nafsu.
Hadits-hadits di atas melarang seseorang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu atau sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, dan lain sebagainya. Dengan demikian, tafsir dirayah ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran).
[8] Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan seuah ayat dalam arti yang lain/arti yang mirip.
[9] Wujud (ada), Qidam (terdahulu), Baqa’ (kekal), Mukhalafatul lil hawaditsi (tidak sama dengan yang baru), Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri), Wahdaniyah (mahaesa), Qudrat (maha kuasa), Iradat (maha berkehendak), ilmu (maha mengetahui), Hayat (maha hidup), Sama’ (maha mendengar), Bashar (maha melihat), Kalam (maha berfirman), Kaunuhu Qadiran (Allah sebagai dzat yang maha kuasa), Kaunuhu Muridan (adanya Allah sebagai dzat yang maha berkehendak), Kaunuhu ‘Aliman (adanya Allah sebagai dzat yang maha tahu), Kaunuhu Hayyan (adanya Allah sebagai dzat yang maha hidup), Kaunuhu Sami’an (adanya Allah sebagai dzat yang maha mendengar), Kaunuhu Basiran (adanya Allah sebagai dzat yang maha melihat), dan Kaunuhu Mutakalliman (adanya Allah sebagai dzat yang maha berfirman)
[10] Allah berbicara langsung dengan nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan nabi Musa a.s., dan Karena nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu Mi'raj.
[11] Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar